top of page
Search

Pengamen, Cerminan Apresiasi yang Minim

  • boldituberani
  • Jul 21, 2014
  • 2 min read

“Sing maringi tak dongakaake slamet, sing ra maringi kebangetan banget….Sing padha turu tak dongakake slamet, sing ora turu tak dongakake slamet, sing ethok-ethok turu tak dongakake lemu nganti ra isa ngguyu…..” (yang memberi kudoakan selamat, yang tidak memberi keterlaluan sekali….yang sedang tidur kudoakan selamat,yang tidak turu kudoakan selamat, yang pura-pura tidur kudoakan gemuk hingga tidak bisa tertawa)

pengamen-jalanan.jpg

Demikian sepenggal lirik yang saya dengar dan cerna dari salah seorang pengamen yang memasuki bis antar kora antar propinsi (AKAP) yang saya tumpangi ketika saya melakukan perjalanan ke kota Jogjakarta. Pengamen tersebut mencoba peruntungannya mencari nafkah di dalam moda transportasi roda enam yang mengantarkan saya ke kota pendidikan ketika bis saya menurunkan sejenak di terminal Kartosuro, Solo. Pada prinsipnya, saya akan memberi uang pada setiap pengamen apabila mereka menyanyikan lagu yang saya sukai atau mereka membawakan sebuah lagu dengan tidak biasa atau unik. Pengamen tadi tidaklah memenuhi kriteria saya untuk saya “upahi”. Suaranya biasa saja, alat musik yang digunakan pun hanyalah sebuah ukulele tua yang terdapat banyak rombakan di badannya. Tetapi, pengamen tadi berhasil menarik perhatian saya untuk memperhatikan performanya di atas “panggung “ ketika menyanyikan lirik lagu dalam bahasa Jawa yang menurut saya cukup menggelitik seperti yang tertulis di atas. Hahahahahaha….saya dan “Adinda” saya (yang juga mengerti bahasa Jawa) pun menahan tawa atas lirik yang dinyanyikan pengamen tersebut.


Yap, lirik sederhana yang sangat mencerminkan kelakuan para penumpang bis atau bisa juga mencerminkan pengalaman yang selalu dirasakan oleh pengamen tersebut. Hahahahahaha (ijinkan saya tertawa lagi). Menjadi musisi jalanan memang lebih banyak duri dan onaknya dibandingkan mereka yang berada di panggung berjulukan ‘Spektakuler’ yang selalu menghiasi layar televisi kita setiap malam. Walaupun, menurut saya mereka yang ada di panggung megah tersebut (mungkin) tidak lebih baik dari mereka yang kesehariannya bercucuran keringat akibat berpindah “panggung” di tengah teriknya matahari atau derasnya hujan hanya untuk mencari penyambung nyawa. Tapi yaaah, mau bagaimana lagi ?? Toh hanya sedikit dari seniman-seniman lepas tadi yang nasibnya beruntung dengan mungkin bertemu promotor musik kondang ataupun orang label musik papan atas untuk kemudian menaikkan roda kehidupan ke arah lebih tinggi. Harapan saya, Pak/Bu/Mas/Mbak/Om/Tante yang berkecimpung di dunia permus(yr)ikan, mohon saudara-saudara kita yang berbakat tadi derajatnya diangkat agar mempunyai kehidupan yang lebih pasti, jangan hanya menggaet penyanyi bermodal tampang saja, Indonesia sangatlah luas, alangkah baiknya ‘blusukan’ ke tempat-tempat terpencil untuk menemukan seniman-seniman yang mungkin jauh lebih berkualitas dibanding mereka yang nama dan wajahnya selalu bersliweran di playlist dan TV anda. Memang sih seni itu bersifat subjektif sampai kapan pun, akan tetapi mbok ya bukalah mata lebar-lebar, jangan hanya mementingkan faktor penjualan ataupun rating atau apalah itu namanya. Toh masyarakat sekarang sudah cerdas dan bisa menilai mana yang penyanyi berbakat tulen dan mana penyanyi yang berbakat tu-len (satu-ketelen)- maksudnya ngetop menyanyikan satu lagu saja tetapi setelahnya langsung hilang ditelan bumi. (photo by google)






-bagasrizkynanda


 
 
 

コメント


Featured Posts
Recent Posts
Archive
Search By Tags

© 2014 by Boldmagz. Proudly created with Wix.com

bottom of page